ANimasi

Kamis, 11 Oktober 2012

Pola Pengembangan SDM di Era Globalisasi

Globalisasi merupakan suatu struktur yang mengakibatkan semua bangsa di dunia terlibat dalam suatu tatanan global yang seragam, pola hubungan dan pergaulan yang seragam pula disemua tatanan kehidupan, baik tatanan politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan. Salah satu faktor yang menyebabkan globalisasi cepat terjadi adalah perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi atau yang lebih akrab kita dengar sebagai Iptek. Dengan kata lain globalisasi yang ditunjang dengan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadikan dunia menjadi transparan tanpa mengenal batas-batas negara.
Dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat, masyarakat dunia khususnya masyarakat Indonesia mau tidak mau harus terus berubah sejalan dengan perkembangan teknologi, dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri dan berlanjut ke masyarakat pasca industri yang serba teknologis. Pencapaian tujuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan cenderung akan semakin ditentukan oleh penguasaan teknologi dan informasi, dan yang pasti itu semua harus didukung dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
Tidak bisa disangkal lagi, SDM merupakan salah satu aspek yang menentukan siap tidaknya suatu negara dalam menghadapi era globalisasi ini. Bagaiman dengan SDM Indonesia? Suatu penelitian yang dilakukan World Competitiveness Report menempatkan Indonesia pada urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40). Ini menunjukkan SDM Indonesia masih tergolong rendah dan belum begitu siap menghadapi era globalisasi.
Lalu, bagaimana cara meningkatkan SDM tersebut? Bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita abaikan. Hal tersebut memang tidak mudah dan jelas perlu waktu yang tidak sebentar. Tapi selama ada komitmen dari rakyat Indonesia dan dukungan dari pemerintah, sepertinya hal tersebut tidak lagi menjadi sebuah ketidakmungkinan.
Kedua segi tersebut baik dari komitmen rakyat dan dukungan pemerintah akan saya bahas secara bersamaan. Keduanya saling melengkapi dan saya akan kesulitan jika harus membahasnya secara terpisah.
Mungkin salah satu hal yang musti pemerintah perhatikan adalah dari segi pendidikan. Dalam hal ini pemerintah masih kurang memperhatikan. Lihat saja, alokasi APBN negara ini untuk sektor pendidikan sangat rendah yaitu tidak kurang dari 12 %.Ini jelas – jelas menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas SDM.
Belum lagi kabar yang masih hangat baru – baru ini. Pemeritah mengeluarkan surat keputusan mengenai Badan Hukum Pendidikan (BHP). Keputusan tersebut sangat merugikan mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri terutama bagi mereka yang kurang mampu. Ada apa gerangan yang terjadi? Keputusan tersebut dicemaskan banyak pihak akan berujung pada komersialisasi pendidikan
Sungguh sangat ironis. Disaat negara ini dituntun untuk meningkatkan kualitas SDM terjadi hal semacam tadi. Biaya sekolah mahal, dipersulit waktu pendaftaran dan sebagainya membuat banyak menjadi alasan rang tua tidak menyekolahkan anaknya. Bandingkan dengan negara tetangga, Brunei Darussalam. Negara tersebut sangat memperhatikan pendidikan rakyatnya dengan menggratiskan sekolah.
Ok, kita anggap pemerintah sudah bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya perihal pendidikan. Tidak ada lagi komersialisme, tidak ada lagi punggutan liar, yang ada pendidikan murah karena sudah disubsidi pemerintah dengan alokasi APBN yang tinggi. Terus, apa yang dilakukan setelahnya.
Peran masyarakat harus muncul pada tahap ini. Orang tua misalnya, mereka harus sadar bahwa pendidikan sangat penting unuk anak mereka. Mereka harus mendahulukan aspek ini (dibelakang ibadah tentunya). Membantu orang tua mencari nafkah memang penting, tapi lebih pentinglagi memberi mereka bekal berupa ilmu yang nantinya bisa mereka gunakan di masa depan. Tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk tidak menyekolahkan anaknya.
Untuk para siswa, mereka harus disiplin disekolah. Jangan karena pendidikan murah jadi bisa seenaknya sendiri. Sekolah sering bolos, kalau datang terlambat, bubar sekolah nongkrong dahulu di Mall pelajaran tidak mmemperhatikan, bercanda dengan teman di kelas, sibuk dengan handphone, pekerjaan rumah tidak pernah dikerjakan, mencontek waktu ulangan inilah yang membuat SDM kita tidak maju – maju. Pacaran boleh saja selama hal tersebut untuk memotivasi prestasi bukannya gaya – gayaan.
Dari pihak sekolah harus lebih tegas terhadap muridnya. Mereka berhak memberi hukuman kepada muridnya yang tidak mematuhi peraturan. Tapi jangan sampai hukuman yang dikenakan tidak mendidik bagi mereka. Seperti kasus guru yang memukul muridnya sebagai hukuman karena tidak mengerjakan PR jelas sangat dilarang. Hal tersebut sangat tidak mendidik dan hanya membuat si murid mendongkol selain trauma misalnya. Panggil saja murid bersama orang tua, mungkin saja si murid punya masalah di rumah seperti kurangnya perhatian dari orang tua.
Dalam hal ujian, tidak perlu diadakan standarisasi. Memang hal tersebut berguna untuk menentukan apakah siswa tersebut lulus atau tidak, tapi jika tingkat kelulusan hanya ditentukan lewat ujian akhir dikhawatirkan dan memang sudah benar – benar terjadi, akan adanya kerancuan. Banyak siswa yang sebenarnya pintar tapi tidak lulus karena mungkin dia kurang konsen waktu ujian atau tidak beruntung. Yang bodoh malah lulus. Bisa saja dia duduk di posisi yang menguntungkan atau saat ujian dewi fortuna sedang menghampiri dia.
Nah, kalau kita juga anggap masalah pendidikan tadi beres, berarti pemerintah harus menyediakan lapangan kerja bagi mereka yang sudah lulus dan siap bersaing. Mengapa demikian? Karena dalam bidang ini pemerintah juga bisa dikatakan gagal. Sedikitnya lapangan pekerjaan membuat metode meningkatkan SDM pada bidang pendidikan menjadi percuma.
Perlu bukti? Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) ada sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang yang berarti ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka. Jumlah pengangguran ini terus meningkat, sampai 2008 kemarin saja sudah menginjak angka 8 juta lebih.
Ditambah lagi tingkat pendidikan angkatan kerja di Indonesia juga masih rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. Masalah – masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi.
Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di Indonesia. Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang.
Sampai pada data – data yang menghawatirkan tersebut, siapa yang harusnya bertanggungjawab? Pemerintah jelas dan sudah disinggung tadi. Tapi apa mutlak karena kesalahan pemerintah saja? Menurut saya dari pihak perguruan tinggi dan dari mahasisiwanya sendiri juga harus berperan.
Fenomena penganguran sarjana merupakan kritik bagi perguruan tinggi, karena ketidakmampuannya dalam menciptakan iklim pendidikan yang mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa. Cara mengajar yang hampir sebagian besar hanya teori membuat mahasiswa tidak siap terjun ke lapangan pekerjaan. Maka dari itu sudah selayaknya perguruan tingi ikut bertanggungjawab meningkatkan SDM dengan mengganti metode pendidikan mereka.
Mahasiswa juga jangan berdiam diri begitu saja. Mereka harus bisa membuat lapangan kerja sendiri. Harus ada kreativitas agar mereka juga bisa mengurangi tingkat pengangguran di negara ini. Maka dari itu, untuk mereka yang masih mengenyam bangku perkuliahan, manfaatkanlah waktu tersebut sebaik mungkin. Jika memang pengajaran dalam bentuk praktek dirasa masih kurang, mereka bisa mencari pengalaman d iorganisasi – organisasi kemahasiswaan yang pasti terdapat di semua universitas.
Yang terakhir, jika SDM tersebut sudah ada dan berkualitas, pemerintah harus bisa mengelolanya. Ingat tentang kasus tentang hijrahnya pilot Garuda ke perusahaan penerbangan asing karena alasan suasana kerja yang tidak lagi kondusif. Tetapi kalau dicermati lebih dalam lagi, alasan sebenarnya dari eksodus para pilot Garuda tersebut lebih disebabkan karena pihak perusahaan asing memberikan iming-iming fasilitas yang jauh lebih baik dibandingkan yang ditawarkan oleh pihak Garuda. Selisih perbedaan gaji yang cukup signifikan ditambah bonus berupa mobil membuat mereka tidak bisa menolaknya.
Kurang adanya reward atau pengakuan keahlian di negara ini dikhawatirkan akan membuat para orang ber-SDM berkualitas lebih memilih hijrah ke negara lain dari pada membesarkan negaranya sendiri. Sangat disayangkan bukan? Lagi – lagi jika pengembangan SDM dari segi pendidikan sukses, tetap akan menjadi percuma. Negara lain yang tidak perlu repot yang menikmati hasil tersebut.
Sekali lagi saya katakan ironis. Keberhasilan pembangunan yang selama ini dibanggakan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi. Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM dalam menghadapi persaingan ekonomi global
Negara yang subur, makmur dan kaya dengan penduduk yang hampir mencapai 200 juta ini harus berlarut – larut dalam keterpurukan selama bertahun – tahun. Apakah selamanya kita terus mengalaminya dan pasrah begitu saja? Bersiap dijajah lagi kalau begitu caranya. Bandingkan dengan Israel, negara dengan luas wilayah yang mungkin sepersepuluhnya Indonesia dengan jumlah penduduk yang juga kalah jauh dengan Indonesia, bisa mengontrol negara besar seperti Amerika Serikat. Itu karena SDM mereka berkualitas dan mereka menguasai IPTEK.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita harus bisa. Pemerintah harus serius memperhatikan rakyatnya. Jangan ada lagi korupsi, kolusi dan nepotisme di negara ini. Rakyat juga harus berjuang mengembangkan diri mereka agar siap mengarungi globalisasi ini. Ibaratnya ironi di persepakbolaan kita, masak tidak bisa mencari 11 orang berkualitas diantara 200 juta punduduk?


sumber : 
http://dumalana.com/2011/12/02/pola-pengembangan-sdm-di-era-globalisasi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar